Sah Kah Pernikahan Wanita Yang Sedang Hamil?
Pertanyaan :
Mohon Penjelasan ustadzah, Sah Kah Pernikahan wanita yang sedang hamil, mohon diberi penjelasan sah tidaknya pernikahan wanita yang sedang hamil.
Penjelasan :
Wanita yang melakukan pernikahan pada situasi keadaan sedang mengandung (hamil), terdapat dua macam situasi (keadaan).
- Yang kesatu, wanita yang diputus ceraikan mantan suaminya pada saat sedang mengandung.
Yang nomor dua adalah wanita dalam keadaan tidak melakukan pernikahan namun melakukan perzinahan hingga dirinya menjadi hamil. (pada keadaan ini, memiliki dasar kaidah yang berbeda)
pada kondisi pertama, Alim ulama mufakat dengan pemikiran yang sama :
Mengambil sebagai istri seorang wanita yang masih pada masa iddahnya (masa menunggu), ihwal persoalan ini tidak dibenarkan serta tidak absah.
Maka sebaiknya bersikap bersabar menanti untuk beberapa waktu sampai masa iddahnya tersebut benar-benar selesai dan tuntas secara sempurna.
Maka sebaiknya bersikap bersabar menanti untuk beberapa waktu sampai masa iddahnya tersebut benar-benar selesai dan tuntas secara sempurna.
Seperti tertuang dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 235 :
"Dan janganlah kalian ber’azam (menetapkan hati) untuk berakad nikah sebelum habis iddahnya."
kesimpulan :
Adapun wanita yang hamil berkat lantaran sikap perbuatan zina, hal tersebut merupakan perihal perkara yang ramai terjadi dilingkup sosial masyarakat. Para orang tua kerapkali mengambil tindak pintas untuk mempernikah suamikan putri mereka yang kebablasan telah hamil. dengan tujuan, untuk melingkupi aib keluarga
Pada dasarnya, sebagian besar para alim ulama memberi keleluasaan (memperbolehkan) perlangsungan nikah wanita yang sedang mengandung akibat perbuatan zina dengan laki-laki yang telah menyebabkan dirinya hamil. Tetapi pendapat alim ulama yang lebih kuat adalah disyaratkan kepada calon mempelai berdua untuk menyesali dan memohon ampun kepada Allah dari dosa besar yang telah diperbuat oleh dirinya sendiri. Hal ini seperti telah diutarakan menurut mazhab Imam Ahmad, Ishaq, serta Abu ‘Ubaid, Qatadah
Adapun alim ulama lain, seperti Imam Malik, Syafi’i, serta Abu Hanifah, tetap memberikan pengesahan terhadap perlangsungan nikah tersebut walau kedua calon mempelai berdua masih dalam keadaan tidak menyesali dan belum memohon ampun kepada Allah.
Imam Ahmad memiliki dasar pada ayat Alquran, "Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin." (QS an-Nur : 3).
Ayat ini menjadi sumber kaidah hukum tentang kedudukan haramnnya wanita serta laki-laki yang melakukan perzinahan untuk melakukan pernikahan sampai mereka menyesali dan memohon ampun kepada Allah. Perlangsungan nikah itu adalah mitsaqan ghalizha (ikatan kokoh nan kuat dan suci) dan hanya mampu mentali ikatkan sepasang manusia yang beriman. Sedangkan orang non muslim maupun pezina maka tidaklah berlaku ikatan perlangsungan nikah teruntuk mereka.
Pada sejumlah runtun penuturan oleh para rawi, Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabat supaya tidak melakukan pernikahan dengan wanita yang ahli melakukan perbuatan zina.
sebagaimana dalam hadits, 'Amr bin Syu'aib, beliau menceritakan suatu kejadian, salah seorang sahabat bernama ‘Anaq ingin mengambil sebagai istri seorang tawanan perempuan yang ahli melakukan perbuatan zina. Nabi Muhammad SAW terdiam, sampai surah an-Nur ayat 3 tersebut dturunkan. Nabi Muhammad SAW pun melarang 'Anaq untuk mengambilnya sebagai istri
Namun, seandainya sudah menyesali dan memohon ampun kepada Allah secara nasuha dari dosanya sebagai seorang yang ahli melakukan perbuatan zina, barulah ia diperkenankan melakukan pernikahan maupun dinikahkan.
Namun Para alim ulama berbeda pendapat dengan bentuk pertaubatan tersebut. Seandainya di negara Islam, seorang yang ahli melakukan perbuatan zina wajib menjalani hukum Islam (Hudud) yang akan dieksekusi oleh pemerintah. Hukuman teruntuk orang yang melakukan perbuatan zina yakni hukuman dera sebanyak 100 kali. (pezina yang masih lajang)
Tetapi, seandainya ia berada pada pemerintahan sekuler yang tidak menggunakan hukum berdasar kaidah Islam, ahli melakukan perbuatan zina perlu bersungguh hati pada tobatnya secara nasuha dengan memenuhi lima kriteria,
Setelah bertaubat secara nasuha, barulah wanita yang sedang mengandung berkat lantaran perbuatan zina, maka baru diperbolehkan dinikahkan dengan laki-laki yang telah menyebabkan dirinya hamil. Hal itu pula disahkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 1. Pada Pasal 53 Kompilasi Dasar kaidah Islam (KHI) pula dinyatakan, seorang wanita sedang mengandung di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menyebabkan dirinya hamil. Perkawinan dengan wanita sedang mengandung tersebut dapat dilangsungkan tanpa menanti untuk beberapa waktu terhadap kelahiran anaknya. Dengan dilaksanakannya pernikahan di saat wanita sedang mengandung, maka tidak diperlukan pernikahan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
Dasar kaidah ini menunjukkan bagaimana indahnya aturan agama Islam dalam menjaga nasab garis keturunan. begitu juga, indahnya perilaku dan akhlak Islam dalam memelihara kehormatan serta kasih sayang diantara sesama manusia. dimisalkan seorang wanita yang sedang mengandung berkat lantaran perbuatan zina harus menanggung sendiri beban kehamilannya sampai melahirkan. Adapun, laki-laki yang menyebabkan dirinya hamil dengan begitu mudahnya menjauh pergi
Wallahu A'lam Bishshawab.
Bagikan artikel Sah Kah Pernikahan Wanita Yang Sedang Hamil? dengan menekan tombol bagikan dibawah ini
kesimpulan :
- menikahi wanita yang sedang hamil adalah terlarang, hingga masa iddahnya selesai. bahkan bagi pihak laki-laki yang hendak menikahi juga dilarang untuk berazam (menetapkan hati).
- terkecuali pada penjelasan kasus kedua berikut :
Adapun wanita yang hamil berkat lantaran sikap perbuatan zina, hal tersebut merupakan perihal perkara yang ramai terjadi dilingkup sosial masyarakat. Para orang tua kerapkali mengambil tindak pintas untuk mempernikah suamikan putri mereka yang kebablasan telah hamil. dengan tujuan, untuk melingkupi aib keluarga
Pada dasarnya, sebagian besar para alim ulama memberi keleluasaan (memperbolehkan) perlangsungan nikah wanita yang sedang mengandung akibat perbuatan zina dengan laki-laki yang telah menyebabkan dirinya hamil. Tetapi pendapat alim ulama yang lebih kuat adalah disyaratkan kepada calon mempelai berdua untuk menyesali dan memohon ampun kepada Allah dari dosa besar yang telah diperbuat oleh dirinya sendiri. Hal ini seperti telah diutarakan menurut mazhab Imam Ahmad, Ishaq, serta Abu ‘Ubaid, Qatadah
Adapun alim ulama lain, seperti Imam Malik, Syafi’i, serta Abu Hanifah, tetap memberikan pengesahan terhadap perlangsungan nikah tersebut walau kedua calon mempelai berdua masih dalam keadaan tidak menyesali dan belum memohon ampun kepada Allah.
Imam Ahmad memiliki dasar pada ayat Alquran, "Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mukminin." (QS an-Nur : 3).
Ayat ini menjadi sumber kaidah hukum tentang kedudukan haramnnya wanita serta laki-laki yang melakukan perzinahan untuk melakukan pernikahan sampai mereka menyesali dan memohon ampun kepada Allah. Perlangsungan nikah itu adalah mitsaqan ghalizha (ikatan kokoh nan kuat dan suci) dan hanya mampu mentali ikatkan sepasang manusia yang beriman. Sedangkan orang non muslim maupun pezina maka tidaklah berlaku ikatan perlangsungan nikah teruntuk mereka.
Pada sejumlah runtun penuturan oleh para rawi, Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabat supaya tidak melakukan pernikahan dengan wanita yang ahli melakukan perbuatan zina.
sebagaimana dalam hadits, 'Amr bin Syu'aib, beliau menceritakan suatu kejadian, salah seorang sahabat bernama ‘Anaq ingin mengambil sebagai istri seorang tawanan perempuan yang ahli melakukan perbuatan zina. Nabi Muhammad SAW terdiam, sampai surah an-Nur ayat 3 tersebut dturunkan. Nabi Muhammad SAW pun melarang 'Anaq untuk mengambilnya sebagai istri
Namun, seandainya sudah menyesali dan memohon ampun kepada Allah secara nasuha dari dosanya sebagai seorang yang ahli melakukan perbuatan zina, barulah ia diperkenankan melakukan pernikahan maupun dinikahkan.
Namun Para alim ulama berbeda pendapat dengan bentuk pertaubatan tersebut. Seandainya di negara Islam, seorang yang ahli melakukan perbuatan zina wajib menjalani hukum Islam (Hudud) yang akan dieksekusi oleh pemerintah. Hukuman teruntuk orang yang melakukan perbuatan zina yakni hukuman dera sebanyak 100 kali. (pezina yang masih lajang)
Tetapi, seandainya ia berada pada pemerintahan sekuler yang tidak menggunakan hukum berdasar kaidah Islam, ahli melakukan perbuatan zina perlu bersungguh hati pada tobatnya secara nasuha dengan memenuhi lima kriteria,
- yaitu permohonan ampun yang ikhlas berkat lantaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala
- menyesali sikap perbuatan yang telah dilakukannya
- meninggalkan dan menjauhi dosa tersebut,
- bertekad kuat (berazam) dan sungguh-sungguh tidak akan melakukan perbuatan yang sama,
- serta memperbanyak perbuatan baik beruapa ibadah sebagai ganti dari tingkah maksiat yang pernah dilakukannya
Setelah bertaubat secara nasuha, barulah wanita yang sedang mengandung berkat lantaran perbuatan zina, maka baru diperbolehkan dinikahkan dengan laki-laki yang telah menyebabkan dirinya hamil. Hal itu pula disahkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 1. Pada Pasal 53 Kompilasi Dasar kaidah Islam (KHI) pula dinyatakan, seorang wanita sedang mengandung di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menyebabkan dirinya hamil. Perkawinan dengan wanita sedang mengandung tersebut dapat dilangsungkan tanpa menanti untuk beberapa waktu terhadap kelahiran anaknya. Dengan dilaksanakannya pernikahan di saat wanita sedang mengandung, maka tidak diperlukan pernikahan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
Dasar kaidah ini menunjukkan bagaimana indahnya aturan agama Islam dalam menjaga nasab garis keturunan. begitu juga, indahnya perilaku dan akhlak Islam dalam memelihara kehormatan serta kasih sayang diantara sesama manusia. dimisalkan seorang wanita yang sedang mengandung berkat lantaran perbuatan zina harus menanggung sendiri beban kehamilannya sampai melahirkan. Adapun, laki-laki yang menyebabkan dirinya hamil dengan begitu mudahnya menjauh pergi
Wallahu A'lam Bishshawab.
Bagikan artikel Sah Kah Pernikahan Wanita Yang Sedang Hamil? dengan menekan tombol bagikan dibawah ini
Posting Komentar